Sabtu, 03 Maret 2012

Kemarin yang tak akan Kembali


Dan dia yang berhenti, lelah, menapaki jalanan hidup... dia yang berjanji, sampaikan salam terindah disetiap waktu, dia yang mampu hentikan waktu cepatku, dan dia yang telah temukan tujuan sebenarnya, yang jauh dan tak bisa aku temui lagi... dimana pun
........
#13 november ‘06
    Aku berjalan riang di sepanjang koridor sekolahku ini, tertawa riang, bercanda tawa, mentertawakan hal yang sebenarnya tidak terlalu konyol, bagiku itu menyenangkan, sama seperti jika kau dapatkan hadiah yang kau mau,... Aku menatap seseorang disebelahku, ia ikut larut bersamaku, berseda gurau bersama, wajahnya tersenyum dan kurasa aku juga begitu.
Namaku Karina, saat ini aku tercatat sebagai murid disalah satu SLTA favorit di kota ku, aku duduk di bangku kelas 3 SMA,aku tinggal bersama Opa-ku, dan aku memiliki teman wanita, Sanandya,biasa ku sapa Nandya, dia seusia denganku, kami bersahabat karib sejak masih disekolah dasar, ditambah rumahnya yang berada didekat rumahku membuat persahabat kami semakin erat.
“ pagi karin!” aku mendengar seseorang baru saja menyapa ku. Rakka Arindra. Cowo yang memiliki campuran darah Eropa ini adalah tetanggaku, kebetulan aku, dia dan Nandya, seusia, jadi dari kecil kami memang berteman, tetapi entah mengapa pertemananku dengan Rakka semakin merenggang, setelah kami sama-sama dewasa,namun kami tetap berteman, walau tidak sedekat dulu.
“ pagi Arin... ^^” balasku centil, aku melihat raut wajah tidak suka mulai menyeruak diwajah putihnya itu, bibirnya mulai mengerucut cemberut. Hahaa lucu sekali!
“ dihh, jangan panggil gue gitu napa! Kesannya kan kaya cewe!” sudah kuduga, protes yang akan ia lucurkan. Aku tertawa, ku tengok Nandya ia tetawa kecil, aku semakin semangat membuat Rakka marah.
“ lhoo, nama lo kan Rakka Arindra, Arin-Dra... !” itu sebenarnya adalah ejekan, hanya saja aku membuatnya seperti kepolosan. Kali ini alis kanannya menyernyit, ia menghadapkan wajahnya ke arah lain
“panggil Rakka! Gak ada Arin lagi!” tukasnya tajam, aku merasa itu sedikit konyol, apa gunanya ia berkata seperti itu, toh aku tidak akan pernah berhenti memanggilnya seperti itu. Bagiku menggodanya itu menyenangkan, dan kupikir menggangguku juga hal yang paling menyenangkan baginya. Aku menjulurkan lidahku
“gak mau ahhh!” ungkap ku seraya berlari, aku dengan gesit meninggalkannya, kudengar ia berteriak memanggil namaku matanya melotot melotot, tapi lama-kelamaan aku melihatnya tersenyum, bersama Nandya yang masih ada dihadapannya. Itulah sebab ku menjauhi dan tak menerimanya, karena aku tak ingin saat2 ini terasa berbeda, tidak sama saat kau mengejek atau aku yang mengejekmu, tersenyum, atau menyapa, aku ingin semuanya tetap, sama aku ingin kau menatapku dengan sudut pandang yang tetap sama.
***
       Desember telah tiba, musim penghujan datang, hampir setiap hari aku melihat orang beraktivitas dengan tidak meninggalkan payung sebagai bagian dari bawaannya, itu terlihat menggelikan bagiku, karena jujur saja aku sangat menyukai musim ini, saat dimana merasakan air-air kecil itu tumpah, dan seperti emosi yang tertahan, mereka akan meledak dengan deras. Itu menginspirasiku.

“ heii” aku merasakan bahuku ditepuk perlahan, Nandya, ia sudah bediri disampingku, ikut memadangi hujan yang turun, ia menopangkan dagunya diantara kedua telapak tangannya, aku belum berhenti memandangnya, entah mengapa, aku memang gemar memandangnya seperti ini.

Dia adalah teman yang selalu menemaniku dikala susah dan senang, disaat jenuh dan lelah, teman yang selalu mendukungku, apapun yang akan aku lakukan dan telah akau lakukan ia senantiasa seperti pemandu sorak bagiku, pikirlah saat hanya ada satu orang yang menghargaimu dengan tulus setelah kehancuran yang menimpamu.

 Menunduk membisu, dan hanya air mata yang dapat aku teteskan, ketika mengingat itu, 12 tahun yang lalu, kedua orang tuaku bercerai, tanpa ada yang mengasuhku, mereka mencari kehidupan mereka sendiri, aku dititipkan kepada Opa dari ayah ku. Dan saat itu Nandya datang membawa keceriaan lagi dalam hidupku, sederhana memang, tapi dari berbagai perasaan yang pernah aku miliki, jujur hanya saat bertemunya, aku bahagia.

“karina!” aku mendengar ia mulai memanggilku, suaranya yang khas itu, benar2 membuatku mudah mengingatnya. Aku tersenyum, dan kembali memandangi hujan didepan kami, aku menjulurkan tanganku mencoba menangkap bulir air itu, sedangkan dia hanya memandangku, tangannya masih rapat berpegangan pada pagar balkon bertralis besi, bercat hitam itu.

“ Rin, kenapa sih lo suka ujan?” tanya Nandya, matanya masih tertuju pada tanganku
“ karena hujan itu terlihat dramatis dimata gue! Kesannya jadi kaya kehidupan gue” ia menatap ku, pupil matanya mengecil, nanar  ia memandangku
“ bisa ga, hujan ini, diganti sama sapaan gue setiap hari buat lo!” ungkapnya, aku tertegun sebentar. dan akhirnya tersenyum
“ emmm, kayanya lebih bagus hujan deh daripada suara cempreng lo itu!” jawabku menggodanya
“ isshh lo!..... Serius tau!” protesnya dengan wajah sebal, aku terbahak
“ hahaaa.. jangan deh! Jangan buat diri lo, seperti hujan, karena lo tau kan, bagi gue hujan itu terlihat dramatis, sedangkan lo, lo adalah wujud nyata yang memberi kebahagiaan buat gue” ungkapku, itu jujur, sudah lama ingin aku katakan, aku hanya menggu waktu yang tepat, dan aku pikir sekaranglah saatnya. Aku hanya merasa semuanya akan terlambat jika tidak ku katakan.. entahlah?
“ emmmm... co cwiittt” jawabnya centil, tangannya bergerak mencubit pipiku
“aww, sakit aahhh!” rajukku, itu benar terasa sakit
“ eemm ngambek..!” ucapnya lagi tangannya beraksi menyentuh daguku
“ auu ahh!” balasku masih merajuk
“ hihii.. ehh Rin, sebenernya lo itu suka nga sih sama Rakka, gue liat dia kayaknya masih ngarep deh sama lo... kenapa dulu ga lo terima ja sih, diakan cakep Rin” setelah Nandya mengatakannya kenapa aku merasakan hal yang berbeda, ada yang aneh dari perkataanya itu
“ gak ahh, bukan tipe gue” jawabku asal, aku lihat ia mengerutkan alisnya, memandangku tak percaya
“ huuu,... boong lu” satu dorongan jari menyentuh keningku
“ ihhh... lo dari tadi, nyiksa gue mulu sih..... lagian juga kalo gue suka pun, gue tetep gak akan terima dia” jawabku
“ kenapa?” tanyanya penasaran
“ ga tau, gue ga mau aja.... lebih nyaman kaya gini” jawabku dengan renungan panjang,
“ apa yang ngebuat lo nyaman?, nyiksa batin sendiri!..... “ aku memandangnya, jari2nya sudah berbaur dengan tetesan air hujan itu....
“ jujur ya Rin, satu hal yang ga pernah bisa kita sembunyiin dari siapapun didunia ini, hal itu adalah pancaran mata..” Nandya menghela napas, dan menghembuskanya
“ dan lo tau, gue liat ada perasaan lain ketika lo liat Rakka, rasa yang jauh berbeda saat lo liat gue, Opa lo atau orang-orang disekeliling lo lainnya, lo suka dia” tess... aku merasakan cairan hangat, diujung mataku, aku menangis, tapi kenapa?
“ kenapa kita jadi ngabahas Rakka?” aku mengalihkan wajahku, menutupi apa yang sekarang terlihat
“ gue juga ga tau, perasaan gue bilang ini yang terakhir kalinya gue bahas Rakka sama lo,.... “ aku melihatnya menundukkan wajahnya
“ lo sakit? Aneh! Ko tiba2 lo ngomomg gitu! Jangan lebay deh, nga lucu, kalo lo sakit ayo ke RS sekarang” aku memandangnya khawatir, raut wajahnya berubah seakan apa yang aku katakan tadi adalah hal yang aneh.
“ hahahahahahah, Karina, Karina... lo kok jadi parno gitu, maksud gue nga gitu, hanya jika sebuah bunga aja bisa layu, kenapa manusia nga bisa” aku mengerling, menatapnya dengan tak berhenti

“saat sebuah pohon udah nga mampu memproduksi daun-daun atau buahnya, maka pilihanya hanya satu ditebang untuk digantikan lagi dengan yang baru, anggap aja kaya manusia, jika bagian penting tubuhnya udah nga berfungsi secara normal, dia hanya menunggu saat kematian menjemputnya”  ucapannya, seketika dengan berhentinya hujan, menyabut awan cerah.

“Gue mau jadi awan cerah itu Rin” tangannya terpaku pada kumpulan awan putih yang berbaur dengan langit biru itu.

“Kenapa?” tanyaku, tak behenti menatapnya.

“Karena, gue mau setiap orang yang ngeliat gue, selalu dengan perasaan bahagia, sampai saat gue tergantikan sama senja yang lebih indah, atau malam dengan beribu bintang yang jauh sempurna, gue nga mau orang lupa kalo gue ada, atau bisa juga kan diabadikan, di foto gitu, gue suka ngiri kalo liat lo moto sunset, atau Rakka yang hobi cari tau tentang bintang, semua bukan karena hasil jepretan lo atau hal realis lainnya, tapi karena kalian nga pernah sekali pun mengabadikan awan biru itu... kan itu juga cantik Rin" dia mengalihkan tatapannya langsung kearahku. aku melihat garis wajah yang terlalu pucat, bibir yang membiru tak merona sedikit pun,... aku sadar.... Jangan Dia.......!.
***
Dari sore itu aku tak pernah lagi berbincang dengannya, angin memabawanya jauh, ketempat yang tak bisa aku jamah, bisa di bilang mungkin sore utu menjadi ajang curhat terakhirku, sehari setelah perbincangan kami di balkon, ia tak sadarkan diri dikamarnya dengan darah segar mengalir dari hidung, mereka bilang, pembulu darah di otaknya pecah, aku tak mengerti, Bagaimana bisa? Ia bahkan tak pernah terlihat sakit, semua terlihat baik2 saja, penyakit yang tak pernah aku dengar, penyakit yang tak pernah aku bayangkan akan menimpanya, seseorang yang selalu mendengar keluh kesah ku terbaring tak sadarkan diri.

#20 november ‘06
Sudah 4 hari lebih, ia tak kunjung bangun, tak beniat sedikit pun untuk membuka matanya, dia tak ingin hilangkan resah yang selalu menaungi dadaku
“ hai.. apa kabar?” sapa ku, aku mengambil posisi duduk dikursi kecil disebelahnya
“ cerita dehh sama gue, .. tadi malam lo mimpi apa! Lo mimpiin gue nga?” seperti orang yang tidak waras aku berbicara pada seseorang yang bahkan tak bisa meresponku sama sekali , aku tau itu, bodoh! Terlihat bodoh!
“ gue mimpiin lo lhoo! Gue mimpi lo bangun dan senyum lagi, senyum jail lo itu!” ungkap ku lebih dalam lagi. Aku tak peduli ia tak akan menjawabnya, aku hanya memiliki keyakinan bahwa dia mendengarnya. itu cukup bagiku,  Dia selalu manjadi pendengar setiaku sampai kapan pun.
 Aku menghela napas, dan perlahan menghembuskannya, aku meraih tangannya perlahan, menggenggamnya erat
“ Nan.. mereka bilang gue harus ngeikhlasin lo, gue hany ga ngerti kenapa seakan2 merka nganggap emang udah nga ada harapan lagi buat lo! Kenapa mereka begitu percaya sama dokter dibanding Tuhan,! Gue yakin lo akan bangun dan sembuh, kaya dulu lagi!” tak terasa air mata itu kembali tumpah, ini memang bukanlah hal yang aku senangi, tapi hal ini yang selalu terjadi padaku, menangis sejadi2nya di sampingnya
***
“ Karina” seseorang menghentikanku, aku menengok arah belakangku, Rakka......
......
“ Karina, gue tau ini berat, tapi ada baiknya lo belajar ikhlasin Nandya, biarin dia tenang dan semua penderitaanya hilang, lo mau dia sembuh kan? Ikhlasin dia” aku manatapnya tajam, sudah cukup aku mendengar lelucon ini, aku benar2 muak dengan keputusasaan mereka
“ lo ngomong apasih, kenapa gue harus ngeikhlasin, dia pasti sembuh Rakka,.. lo harus percaya sama gue!” ungkapku seperti memohon, sampai akhirnya hanya desahan yang ku dengar, bukan kalimat meng-iya-kan atau menolak
Dan saat itu aku tersadar,  tiada lagi yang mau membantuku kuat....
***
#27 Desember 06
“Punghujung tahun hampir tiba, dan aku benar-benar merasakan ke kosongan yang sangat pekat.”
#29 Desember 06
“Selamat tinggal 2006 yang sangat berkesan, Selamat datang 2007 yang......”
#3 Januari 07
Aku kini tau, apa yang tak aku bawa diwaktu kemarin, apa yang pasti tak kembali, dan apa yang harus dilepaskan.......”
..................
Seperti panggilan alam, aku merasa ada yang menginginkan keikhlasanku, aku tak pernah tau siapa, dan apa?
Tubuhnya dingin, seperti tak menunjukan pernah ada gerakan, atau aktivitas. Aku kembali merengkuh tangannya, memberikan kehangatan yang mungkin sudah tak banyak orang berikan padanya, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya mulai menunjukan penurunan, dan matanya semakin jauh terlelap.

“Nan... maafin gue yaa...” Ujarku tertahan, karena tangis yang mulai menguap terasa panas
“kalo emang keikhlasan gue yang lo tunggu,......—“
“Gue Iklas”
Dan dari saat itu napasnya berhenti, jantungnya tak lagi bedetak, hidupnya telah usai, menyisakan lembar-lembar pedih yang tak tertahan.
***
Aku menangis dihadapan pusaranya, melampiaskan rasa sedih, yang aku tau tak akan pernah lagi berujung, setelah kerpergiaanya, atau selama hidupku masih bisa berjalan
Semua itu tak akan terasa nyaman, seperti kemarin, saat dia disampingku, saat semua teman berpaling menjauhiku dan saat hanya dia yang disisakan Tuhan untukku, lalu kembali mengambilnya......

#3 januari 2011

“Karina.. buruan ntar kita telat masuk sekolah....!” suara kecil membangunkanku, suara yang beberapa tahun ini sangat aku rindukan, aku menoleh dan aku mendapati 2 siswi berseragam putih abu-abu berlarian bersama.
Aku menatap langit, yang entah kenapa terasa begitu cerah, sampai suara yang beasal dari benda kecil di tas kecilku menyadarkanku lagi
“haloo Kka?”
“Kamu dimana? Kita Fiting baju hari ini kan?”
“aku lagi ditaman deket butik, 10 menit lagi aku sampai sana... Byeee”

***
 
“ kamu tau rasanya bangkit? itu adalah moment dimana kita akan kembali melintasi kehidupan lain, bersama orang lain lagi, dan tidak pernah bermaksud meninggalkan kehilangan di masa lalu, satu hal yang aku yakini, didunia sana, diatas langit biru itu, dia tersenyum dan terus.. terus.. terus.. sampai waktu mepertemukan kita bersamanya lagi ”

-TAMAT- 

Super ga jelas dan niat awal yang mau bikin ni cerpen dramatis GATOT banget yahhh, tapi gak apadeh yang penting maksudnya kesampaiaan... hahahaha :D




Tidak ada komentar:

Posting Komentar