Sabtu, 15 November 2014

Remember Once More (Storyline from Rememben When)


Remember Once More

Salah seorang teman saya bilang “ Ngak ada yang namanya persahabatan diantara laki-laki dan perempuan..., salah.”.
Cuaca menyengat menyelimuti Jakarta hari ini. Ya, bukan Jakarta namanya kalau ngak panas. Dan kebanyakan orang juga tau Jakarta itu ngak hanya panas tapi juga kumuh, padat; sampai setiap hari macet, dan Jakarta itu Polusi.
Dan bukan manusia normal kalau ngak ngamuk diminta menunggu jemputan di cuaca yang sepanas ini. Dua jam lebih Acha menunggu jemputan yang tak kunjung datang. Kesal, sudah pasti!.
“ Lho, Acha...??” Seseorang menyerukan namanya, Acha lantas menoleh. Titan memberhentikan motornya, melepas helm, kemudian menatap Acha yang penampilannya hampir mendekati gaya fashion pemulung. Muka lepek, kunciran rambut yang sudah aut-autan, dan lengan baju yang tergulung. Benar-benar berbeda dengan saat jam Istirahat ke-dua tadi, terakhir mereka bertemu.
Wajah lecek Acha berubah sumringah, senyumnya mengembang berbinar, seakan baru saja menemukan oase ditengah padang pasir. “Titaaannn..”
 “Ngapain masih disini?” Tanya Titan dengan ekspresi iba.
“ Nungguin jemputan, Tan. Tapi ngak dateng-dateng...”
“ Ya udalah, bareng ajah...”
“ Tapi kan rumah kita beda arah.”
“ Ah, ngak apa-apa, dari pada kamu nunggu disini”
Acha tersenyum lagi “ iya deh..”
Titan mengambil helm cadangan yang ada di dalam jok motornya dan memberikannya pada Acha, ketika Acha menerimanya ia teringat sesuatu. Teringat, seakan-akan kejadian ini pernah terjadi di waktu yang lain.
Raut wajah Acha berubah, ia menunduk, dan terdiam sepanjang perjalanan pulang, walau Titan tak henti-hentinya mengajaknya berbicara Acha hanya menjawabnya dengan gumaman atau pura-pura tidak mendengar.
“ Nyampeee...” pekik Titan seraya memberhentikan motornya didepan rumah Acha.
“ Thanks ya, Tan..” Ujar Acha sekilas, tanpa menengok lagi melengos begitu saja ke dalam rumah.
“ Eii.. Cha!” Titan menarik selempang tas Acha, membuat Acha menghentikan langkahnya.
“ Helm!..” Tunjuk Titan ke atas kepala Acha. Acha meraba pucak kepalanya, kemudian tertawa garing di hadapan Titan. “ Oh iya.. hahaa”
“ Mikirin apa sih?...” tanya Titan.
Acha tertohok “ Hoh?!.. Titan tau darimana gue lagi mikirin sesuatu?, jangan-jangan dia punya ilmu yang bisa baca pikiran orang.. mentalist, gitu. !”
“ Eng.. ENGGAK KOK!!, NGAK MIKIR APA-APA!!” Jawab Acha dengan nada suara yang amat tinggi, boleh dikatakan berteriak. Titan serta merta terdiam.
“ Iya, iya... ya udah, aku pulang ya...”
“ Daahhh...” Acha melambai-lambai kegirangan –seperti biasa–, Titan tersenyum lebar melihat tingkah Acha.
“ Daahh.. sayang-
Acha terdiam membatu, kalimat terakhir yang Titan rapalkan tadi seolah-olah membuat dunianya berhenti sejenak. Sayang!, Titan bilang gitu?..
...................
“ Cha, gue pinjem handuk kecil yaa..?” teriak Zeva
“ Iyaa..”
“ Lemes banget. Kenapa lu, neng?” ujar Vella seraya berbaring tepat disamping Acha
“ Enggak apa-apa..”
“ Enggak apa-apa kok lemes banget, sakit yaa..” Tanya Zeva yang juga ikut berbaring disamping Acha
“ Tadi sore.. Titan manggil gue sayang”
Zeva dan Vella berpandangan “ Terus?..” ujar keduanya bersamaan.
“ Bukannya wajar-wajar ajaya kalau pacar manggil pacarnya pake sayang-sayang..” imbuh Vella.
“ Gue.. ngak tau kenapa, gue ngerasa aneh kalo Titan bilang gitu.”
“ Aneh apa?” potong Zeva
“ Ngak tau!, semuanya kedengeran aneh untuk Titan  ..”
“ Kalo Ray?” Intuisi Zeva serta merta membuat Acha menatapnya. Kaget. Sekaligus tidak percaya Zeva akan menanyakan itu.
Zeva menggeleng. “ No, Cha!. Jangan mengejar seseorang yang jelas-jelas ngak akan pernah membuka dirinya buat lo. Cuma nyakitin diri sendiri aja, Cha!”
Acha menunduk sambil memelitir ujung bajunya. Kebiasaannya ketika resah.
“ Juga, kalo sampai sekarang lo ngak bisa buka hati buat Titan, kenapa dulu lo terima dia?. Jangan bilang karena lo ngak tega!”
Acha kebas. Perkataan Zeva selalu mengenai sasaran, mutlak, menancap tepat ke ulu hati, dan kali ini Zeva bukan hanya mengenai sasaran, bahkan ia sudah berperan sebagai sutradara dalam lingkup ini. Mengatur dan mengetahui segalanya.
“ Pikirin baik-baik. Apa yang memang terbaik!, gue sayang, Cha, sama lu” Wajah Zeva menyendu perlahan. Senyum kecil lantas tergambar diwajah Acha.
“ Iya.. ciee Acha di panggil sayang sama Titan” Imbuh Vella, baru bersuara.
Acha masih terdiam. Jujur, sebenarnya ia senang Titan seperti itu.. semenjak resmi jadian delapan bulan lalu, baru sekarang Titan manggil Acha sayang. Titan itu baik, sopan, cakep, pokoknya idaman banget deh, ngak ada jelek-jeleknya barang secuil aja. Perfect jasmani rohani. Mungkin kalau yang jasmani gara-gara Titan punya turunan Irlandia dari Ibunya. Jadi, Bukan cewek normal kalau ngak naksir Titan.
Dan Acha adalah salah seorang dari cewek normal itu. Dia naksir Titan, naksir banget!!. Apalagi pas tau cintanya itu ngak bertepuk sebelah tangan. Titan juga naksir Acha, dia nembak Acha waktu pementasan drama tahun kemaren, dengan cara yang maniiss banget. Hanya cewek sinting yang bakal nolak.
Tapi saat itu juga ada bayang-bayang seseorang yang lain. Seseorang yang juga meramaikan kehidupan Acha. Perasaan itu selalu datang setiap bayang itu terlintas dipikiran Acha, perasaan yang mengasumsikan bahwa tidak di ruang ini seharusnya Acha berada.
Kenyataan itu luka dan perasaan adalah pisau yang siap mengoyak luka itu kapan saja. Acha naksir Titan, tapi jauh didalam hatinya ada nama seseorang yang lain. selain Titan.
 ......................
Genjrengan gitar mengalun, membunuh sepi malam. Nada instrument yang berasal dari film August Rush. August’s Rhapsody. Nada-nada yang menceritakan bagaimana cara seseorang menemukan, hanya dengan mengikuti sesuatu yang ia yakini.
“ Ray, Woi gue masuk ya?”
Alunan gitar itu terhenti.
“ Ya elah, ngereem aja lu di kamar... jalan yuk?, satnite nih!”
Ray meletakkan gitarnya “ Males, lu ajalah! Ajak Dafa kek”
“ Lu kaya ngak tau Dafa aja... malu-maluin tauk ngajak dia jalan, ngak ada jaim-jaimnya didepan cewek... gimana gue mau dapet pacar kalau ngajak orang autis mulu!.. ayok deh Ray! temenin gue”
“ Gue lagi ngak enak badan... “
“ Ahh, kapan sih lu sehat kalau mau gue ajak jalan.. udah ayok!”
Walau dengan sedikit memaksa, Reno berhasil membawa Ray keluar. Dan sekarang, gerimis tiba-tiba datang saat mereka baru saja keluar dari sebuah restoran kecil pinggir jalan. Jalan ini termasuk kawasan yang ramai jika malam hari banyak dari mereka yang menghabiskan malam disini. Tempat ini cukup lengkap selain ada banyak restoran, beberapa distro, butik, toko souvenir, dan tempat perbelanjaan  juga melengkapi tempat ini.
Ray mengancing jaketnya, merapatkan topi Woll kupluknya. Hawa dingin akibat gerimis membuat bulu kuduknya berdiri.. Sialnya lagi, Reno membawa mobil jib yang atapnya terbuka. Ahh, terpaksa berhenti disini menunggu hujan reda. Ray bukan tipikal orang yang cerewet, tetapi ia memiliki alergi berat pada air hujan, sekali kehujanan bisa langsung opname di rumah sakit.
“ Tukan!. Apa gue bilang, malam ini bakal ujan.. itu makanya gue males keluar” Ray menggosok-gosokkan kedua tangannya mencari udara hangat.
“ Sorry Ray.. nunggu bentar ya.”
“ Ck!”
“ Bentaran aja...”
..............
“ Cha... kesini bentar deh”
Acha melenggang masuk mengikuti Zeva ke dalam sebuah toko yang menjual Souvenir dan Handycraft.
“ Kita nunggu ujannya disini aja ya... sambil liat-liat” Ujar Zeva, Acha mengangguk.
“ Wuah Cha!. Liat!, ada Dream Catcher!!”
Acha menatap arah yang Zeva tunjuk. Ada beberapa Dream Catcher yang tergantung di etalase toko
“ Apaan, Ze? Dream Catcher?? Penangkap mimpi..”
“ Iyaa. Lo ngak tau?.. ckck, lo hidup diplanet mana sih sampai ngak tau itu!”
“ Buat apaan, sih?”
“ Kalo mitosnya sih katanya bisa menangkap mimpi-mimpi buruk sewaktu kita tidur, jadi kita cuman bisa mimpi-mimpi indah aja...”
“ Oow..”
“ Cantikkan, kita beli yuk!”
“ Oke..”
Zeva memanggil sang pemilik toko dan memintanya untuk mengambilkan Dream Catcher itu.
“ Cha lo mau yang mana?..”
“ Gue yang itu deh, yang warna coklat...”
“ Pak yang coklat sama yang putih itu ya...”
Dream Catcher Zeva sudah berhasil diambil, tetapi entah mengapa milik Acha agak sulit, sang pemilik toko menyangkutkannya cukup erat.
“ Waah, maaf nak yang ini agak susah nih.. bentar yaa”
“ Digoyangin pak” perintah Zeva memberi petunjuk pada sang pemilik toko. Acha menggaruk kepalanya, sepertinya agak sulit untuk mengambil pilihannya itu, terlebih pemilik toko ini sudah tua, mungkin ia tak akan bisa bertahan berdiri lebih lama lagi.
“ Biar saya deh pak...” ujar Acha, sang pemilik toko menatapnya ragu, Acha mengangguk sanggup, pemilik toko itu lantas turun dari kursi pendek itu, Acha pun segera menaikinya. Sesulit itukah untuk sesuatu yang ia pilih?... Tidak!.
“ Cha, ati-ati!.”
Acha berhasil menggapainya, kemudian mengambilnya. Ia tersenyum penuh lebar, seakan-akan baru saja memenangkan hadiah. Ia tatap Dream Catchernya dengan gembira, kemudian beranjak turun, ketika ia hendak turun ia berpegangan pada kaca etalase dan tanpa sengaja menatap ke arah luar. Tercengang untuk sejenak, ketika bola matanya berpandangan dengan sepasang mata yang juga sedang memandangnya.
Dan seakan tak ingin memandang Acha lagi, sepasang mata itu berpaling, meninggalkan Acha yang masih menatapnya.
“ Oh.. Acha sama Zeva tuh! Samperin yuk” Reno cepat menarik tangan Ray memasuki toko.
“ Zevaaa..”
“ Lho, Reno? Ray?. kalian disini?”
“ Iya tadi abis makan terus nunggu ujan, kalian ngapain disini?”
“ Sama kita juga nunggu ujan..”
“ Ya udah nunggu bareng aja”
Tanpa ada suara, keduanya sama. Namun berbeda dengan Ray yang terlihat tidak acuh tak acuh dengan mengalihkan pandanganya pada barang-barang yang ada di toko. Acha justru sering memandang ke arahnya.
Entah mengapa, semenjak Reno memproklamirkan untuk menunggu hujan bersama tadi, Zeva dan Reno mendadak lengket, mereka berjalan beriringan meninggalkan Acha dan Ray yang setia mengikuti langkah kaki mereka, situasi seperti ini memang tidak pernah menguntungkan. Ironis.
“ Ze.. Zeva, tungguin gue!!” pekik Acha memanggil Zeva, namun terkalahkan oleh suara hujan.
“ Mereka lagi ngedate, mana mungkin denger suara cempreng lo itu” Guman Ray
. Acha menoleh ke arahnya.
“ Biarin aja mereka, lo kan ngak jalan sendiri juga. Ada gue..” Ray menatap Acha,
Untuk pertama kalinya sejak delapan bulan yang lalu, sejak Titan menyatakan bahwa ia menyukai Acha dan Acha menerimanya. Ray mau menatapnya lagi. Melihat tatapan itu seolah-olah oksigen yang paling murni mengisi rongga dadanya, membawa pergi beban yang akhir-akhir ini – untuk beberapa bulan ini – menghimpitnya. Ya, melihat kelakuan Ray yang seakan menginginkannya enyah sejauh-jauhnya itu membuatnya tak nyaman!. Benar-benar tidak nyaman dengan itu semua. Namun saat ini Ray menatapnya dan Acha tidak tau harus memperlakukan tatapan itu seperti apa.
Semakin tak tau harus bagaimana, Acha bingung. Alih-alih membalas, ia justru mengalihkan wajahnya dengan pikiran yang sudah berkecamuk. Ray menangkap gelagat Acha dengan salah, keberaniannya tadi. Sesuatu yang ia pertahankan selama ini. Ternyata kenyataan berada jauh dari apa yang ia inginkan. Perlahan Ray menundukkan wajah dan beralih menatap arah lain.
“ Jadi... Lo tadi abis darimana?” Tanya Acha memulai, tak menginginkan suasana canggung lagi.
“ Makan..”
“ Oow...”
“ Lo?”
“ Jalan-jalan aja..terus ujan jadi mampir dulu ke toko tadi”
“ Oow... beli apa?”
“ Oh iya..” Acha merogoh tas belanjanya. “ Dream Catcher”
“ Kenapa? Lo mimpi buruk mulu ya?” Ray tersenyum
“ Kayanya gitu.. bahkan mimpi itu udah nyampur sama dunia nyata!”
Ray terkekeh geli “ Hahahaa... serem banget. Mimpi apa yang udah nyampur sama dunia nyata?”
Acha terdiam, ia melirik Ray “ Mimpi-...
Dalam satu tarikan, Acha menghentikan kalimat yang baru saja akan meluncur. Jelas semua itu berhubungan dengan Ray. Terorganisir dan penuh kesadaran, hanya pikirannya yang terus mengucap. Tanpa suara.
“ Mimpi setan? Tanya Ray melihat kebungkaman tiba-tiba dari Acha.
“ Enggalah!,.. Mimpi gue lebih nyeremin dari itu!”
“ Oh ya.. hmm!” Ray mengangguk mengerti
“ Ray.. “ panggil Acha ragu.
“ Hmm?”
Ray tersenyum sambil menatap Acha lagi. Sulit diungkapkan bagaimana tepatnya perasaan Acha saat ini, paras yang dulu pernah membuat wajahnya memanas, jantungnya yang berdetak cepat, dan perasaan menggelitik lainnya.
“ Emm, dingin ya...” Jawab Acha kikuk. Tiba-tiba tak tau harus berkata apa. Ingin sekali ia bertanya mengapa Ray tiba-tiba diam?, mengapa Ray tak mau menatapnya?, dan mengapa Ray seakan menjauhinya?. Tapi yang keluar justru kata-kata aneh. Ray memicing, lalu menengadah menatap langit yang masih hujan “ Kan ujan...”
“ Iyasih... hahaa” Acha semakin kikuk
“ Aneh lo itu ngak ilang-ilang ya” Ujar Ray, setelah itu ia lepaskan woll kupluknya dan memakaikannya pada Acha “ Dont let cold bite you..”
“ Thanks,... Galak lo juga!” balas Acha.
Ray menoleh ke arah Acha, lalu terkekeh lagi. Entah kenapa malam ini Ray benar-benar berbeda dari biasanya, ya.. semenjak delapan bulan terakhir. Lebih banyak tertawa, Acha pikir. Tanpa tau mengapa, tiba-tiba Acha merasa senang, ia tersenyum.
“ Ray...” panggil Acha pelan, hampir terkalahkan oleh bunyi hujan.
“ Ya?” Ray menghentikan langkahnya lalu menghadap.
“ Lo tau ngak?, tiba-tiba aja gue ngerasa seneng.. aneh ngak sih?”
“ Senengnya kenapa dulu?!”
Acha berhenti, ia biarkan Ray berjalan mendahuluinya, ia tatap punggu Ray yang berjalan menjauh “ Karena lo ada di sini, seolah ngak pernah terjadi apapun, seakan-akan waktu itu ngak pernah ada, seperti nyata yang sekarang gue lihat. Di samping gue, ...”.
Ray berbalik ketika ia sadar Acha tak berjalan disampingnya lagi “ Ngapain lo?, buruan! “
Acha tersadar, ia cepat menggeleng lalu mengikuti langkah Ray lagi.
“ Ray, apa gue jatuh cinta sama lo?.... dan apa boleh?.. lagi?”
......................

“ Kamu inget tempat ini, kan?”
Aruna mengangguk, ia tersenyum. Bagaimana mana mungkin ia melupakan tempat ini, tempat yang pada satu waktu, hampir setiap detiknya tak pernah hilang dari pikirannya.
“ Dulu saya ngelamar kamu disini..”
“ Ngelamar? don't be kidding!. Kamu cuman bilang “kita nikah yuk?” cuman gitu aja”
“ Lho, kan sama?! ngelamar itukan ngajak nikah dan waktu itu saya ngajak kamu nikah”
“ Hmm... tapi anda lupa satu hal yang wajib dibawa pas mau ngelamar, Tuan Aresstyo Narada”
“ Apa?”
“ Cincin...”
“ saya bawa kok, tapi kamu keburu pergi sebelum saya kasih...”
Aruna terdiam, memorinya memutar ulang kejadian pada hari itu, dimana Aress melamarnya.
“ Lo ngapain sih ngajak gue kesini?!”
“ Gue... gue mau ngomong sesuatu?”
“ Apa lagi sih? Belum cukup ya semua ini?”
“ Makanya lo harus dengerin gue!...” Nada suara Aress meninggi satu tingkat. Aruna menatapnya geram, bibirnya bergetar kuat, ia tak tahan lama-lama berada didekat Aress, karena hanya akan membuatnya membangkitkan kesalahan itu lagi.
Dengan cepat Aruna berdiri, hampir saja pergi jika Aress tidak segera menarik tangannya.“ Run! Dengerin gue!!”. Aress cepat merengkuh Aruna, membawa gadis itu dalam penjagaannya, tidak boleh lepas, tak perduli dengan orang-orang disekitar mereka. Yang Aress tahu ia butuh wanita ini, dan jika tidak sekarang mungkin tidak akan selamanya.
“ Jangan pergi dulu...”.
Aruna tidak bergerak, ia diam.  Aress merasakan sesuatu menetes di kemejanya.
“kita... kita nikah yuk?” tukas Aress.
Aruna mengangkat wajahnya, ia tatap lekat-lekat wajah Aress. Menatap luruh, mata coklat bening yang didalamnya tercermin bayangannya

Inikah dia? Inikah yang ingin aku temukan dari banyak hal yang aku cari?. Setiap malam tiba, tak henti-hentinya napas berbisik pada angin, ingin didengar. Diakah akhirnya yang mendengar?, diakah yang menyambut setiap pesan-pesan malam?. Mengapa dirinya?. Persimpangan yang selalu sulit dipilih.

 Aruna tak bisa memungkiri bahwa ia juga membutuhkan sosok dihadapannya ini, tapi semuanya seakan sudah menguap kalah dengan sakit yang tercipta dan kini sedang ia rasakan.
“ Aruna, aku butuh kamu...”
“ Aku ngak bisa...”
Dan jika setiap wanita yang berada pada posisi yang sama dengan dirinya akan merasa bahagia, karena tak perlu takut sendiri, tak perlu mengkhawatirkan apapun, dan mungkin itu jalan yang paling terbaik. Tidak begitu dengannya. Ia memilih jalannya sendiri. Jalan yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah jalan yang lebih menyakitkan.
.....................
“ Saya boleh tau ngak?”
Ucapan Aress mengaburkan semua kabut-kabut memorinya, Aruna menoleh cepat “ Hmm?”.
“ Karena sekarang semua udah berubah. Apa boleh saya tahu, waktu itu.. apa sebenernya perasaan kamu?”
“ Apa kamu mau tahu juga. Hari itu, ngak pernah satu detiknya pun pergi dari ingatan saya. Tak satu pun yang hilang apalagi berubah. Mungkin, saya yang selalu teringat”
“ Begitu juga dengan saya”
“ Terkadang saya ingin sekali mempercayai setiap kata”
“ Kamu bisa percaya saya kalau kamu mau”
Tujuh belas tahun. Tujuh belas tahun apa belum bisa menghapus luka itu? apa luka itu begitu dalam?. Seberapa sakit luka itu?... .
......................
“ Kita gugurin aja!”
“ Lo gila! Itu bahaya!!”
“ Lebih bahaya lagi kalau dipertahanin!!”
“ Ngak! Pokoknya gue ngak setuju!”
“ You’re so mean!! Gue ngomongin ini sama lo supaya dapet jalan keluar dan gue menghargai lo sebagai ayah bayi ini”
“ Ya ayah dari bayi yang mau lo gugurin, terus apa? Ngapain lo omongin, ngapain lo minta jalan keluar!”
“ Aress!!...”
“ I dont care! Pokoknya gue ngak setuju!”
“ Gue yang mengandung! Ini rahim gue! Terserah mau gue apain!”
“ Ya, but dont do something to my baby!!”
“ Ini bukan cuman bayi lo!”
“ Run!!...”
“ Please!... “
.........................
Semakin diingat, semakin menyakitkan. Semakin dalam rasa sakitnya. Semakin bertambah penyesalannya.
“ Pada dasarnya kalian aja yang sulit mengakui, kalo kalian berdua itu masih ada rasa..”
Aruna menghirup udara-udara disekitarnya, menikmati setiap hawa yang merasuki rongga dadanya. Ia butuh ini – sesering mungkin – , pikirannya sedang kacau , semua hal yang ia pikiran terasa kurang tepat, salah, dan parahnya terkadang ia tidak mengerti.
“ you should let it out, confess that feeling!”
“ feeling what?. There is no any feeling from the beginning.”
“ Of course, there is. You just rejected all.”
“ Katanya aku bisa percaya kata-katanya. Tapi bahkan hal apa yang membuatku takut berawal dari dia.”
“ C’mon!, it just past so let it stay in the past”
“ Past embrace the future”
“ Ngak ada gunanya lo mikirin semua yang sudah terjadi, toh itu udah terjadi lo ngak bisa apa-apa lagi, Run!. Jangan sampai lo lupa, what happened in the past is because you’re never be brave for yourself. Now, you may have it, you have a chance... “.


Sepi itu pasti, tapi tak terpikir. Sama seperti angin, hembusannya terasa tapi kehadirannya tak pernah berkesan. Berlalu, dan hanya sedikit yang merindukan. Segelintir orang yang bersamanya mencari-cari entah apa.

Jumat, 24 Oktober 2014

How can it ?

Hobbi Angel baru-baru ini. menanam beberapa jenis tanaman air ... dia kelihatan benar-benar penasaran . dan hari ini dia bertanya kepada saya. " how fast its grow and how fast its die? " .. dan saya bilang " so fast its grow and so fast its die "


Minggu, 12 Oktober 2014

Prolog



Prolog
Perjalan. Aku anggap ini tahap baru lagi, satu tingkat lebih lagi, menapaki satu anak tangga lagi, dan yang tak pernah terlewat... adaptasi lagi. Satu hal yang paling sering mengunjungi, datang, dan hadir tanpa ditahu apa, mengapa, dan bagaimana.
Pertama kalinya, aku merasakan bangga yang menyelumuti semua kerja kerasku, membuka lebar jalan berkerikil yang terpaksa aku lalui untuk sampai disini. Tidak seperti mereka, usahaku bahkan melewati tafsir-tafsiran serta duga-dugaan yang awalnya aku pegang. Perjalan ini berjalan lagi, menapaki lagi, berputar perlahan. Pelan namun pasti.
“ Gini lho!... masa orientasi itu bukan neraka, tapi ladang berkah buat orang-orang berkadar intervert kaya kita-kita ini”.
Aku mengerut, memalingkan lamunanku dari tumpukan kertas warna yang sedari tadi kami kutati. Memandang kedua temanku yang untuk kesedikian detik ini beradu argumen, aku tidak tahu apa tepatnya yang mereka perdebatkan, dan apa yang mereka inginkan dari itu.
“ Intervert? Intervert?.. Oouuh!, yang ada di buku “Who Am I?” itu ya?”.
“ Aduh ngak usah diperjelas bisa kali!”.
“ Hah? Perjelas? Emang tadi gue memperjelas ya?”.
Dalam diam aku mengulum senyum, terpaku. Dua bayangan nyata yang tadi aku lihat bertransformasi menjadi kabut. Dua senyum khas itu serta merta ikut pergi, membuatku menyadari aku disini sendiri, mempersiapakan segalanya sendirian. Dua bayang tadi hanya ilusi atau mungkin lebih tepatnya imajinasi.
“ Banyak orang yang ngak bisa dewasa karena dia takut sendiri, padahal salah satu syarat mutlak dewasa itu ya mandiri, semuanya dilakukan secara sendiri...” .
Tiba-tiba dari balik pintu sosok Ibuku muncul, menutup sebagian pintu kecil itu. Aku mengerut lagi, mencoba mengerti maksud yang ingin ibuku sampaikan.
“ Tau ngak?.. sebenernya kita itu ngak sendiri lho, kita punya dua penjaga mutlak yang Tuhan berikan”.
Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini, kembali lagi pada masa SD-ku dulu ketika ibu gemar sekali menceritakan masa kecilnya beserta dongeng wajib yang selalu ia banggakan, kisah-kisah para malaikat, yang aku tahu aku juga ikut arusnya, aku juga menyukainya.
Ibuku membelai kepalaku pelan “ otak...” .tangannya beralih ke bawah “... dan hati”. Aku termanggu, ternyata dugaan awalku tentang kebiasaan masa SD-ku itu salah telak. Aku tergelak, semakin intens memandangi Ibuku.
“ Kamu pahamkan maksud ibu”.
Aku menggeleng. Ibuku tersenyum lembut “ Ibu tidak bisa mengatakan bagaimana, tetapi suatu saat nanti kamu akan merasakannya, ketika dua penjagamu benar-benar menjagamu. Otakmu akan membawamu menuju ketempat yang kamu inginkan dan hatimu akan memandumu kepada hal yang benar.”.
Aku tersenyum gamang. Aku tidak tau apa dan bagaimana, seakan ada cctv yang selalu merekamku, disetiap gerakku, dan aktivitasku. Dan monitor besar itu seakan-akan tersembunyi didalam mata Ibuku. Aku menatap Ibuku lagi, mungkin ini yang sering kali mereka katakan, bahwa terkadang tidak ada hal yang tidak dapat kamu sembunyikan, semuanya seakan hanya terbias kaca bening, transparan. Dan aku yakin, Ibuku tahu pasti pergolakan yang saat ini aku alami.
“ Aku cuman malas beradatasi lagi, aku sudah nyaman dengan situasi sekarang”.
“ Kenapa begitu?”.
“ Aku tidak mau pura-pura jadi orang lain ketika bersama mereka nanti, aku tidak ingin membaur dan menyamakan diri dengan mereka,...”.
“ Kalau begitu jangan...”.
“ Dan itu akan membuatku nyaris tidak akan berbicara pada siapapun nantinya”.
“ Maksudmu?”. Kini ganti kening ibuku yang berkerut.
“ Ibukan tahu. Aku ini tertutup dan seperti biasanya saja, orang-orang seperti aku ini akan dianggap angin lalu. Apa enaknya berteman dengan si pendiam. Tidak seru, kurang rame, kaya ngomong sama patung” Aku rasa, nada suaraku mulai meninggi dan bergumul dengan dumelan-dumelan kecil dari bibirku.
Ibuku tersenyum “ Apa kamu mau terus seperti ini setiap memasuki awal baru?. Apa kamu akan terus seperti ini?”.
“ Ya enggaklah bu, tapi aku memang sulit berbaur”.
“ Yasudahlah, itu bukan hal buruk, kok. Jadi diri sendiri itu lebih nyaman, lho...”.
Aku meretas maksud yang ingin ibuku sampaikan, makna yang tersembunyikan. Nasehat ini memang terdengar standar, jadilah dirimu sendiri, dimanapun, kapanpu, dan dengan siapapun.
Pergolakan batin yang aku alami ketika awal-awal masa kampus. Sensitifitas berlebihan yang aku rasakan. Dugaan konyol yang aku jadikan panduan, tanpa tahu arahku sudah berpaling 180 derajat jauhnya dari tujuanku, dari mauku. Saat ini, aku membuktikan apapun itu pasti akan meliki tempat. Pendiam dan ceria selalu punya jalan untuk saling menemukan.