Remember Once More
Salah seorang teman saya
bilang “ Ngak ada yang namanya persahabatan diantara laki-laki dan perempuan...,
salah.”.
Cuaca menyengat menyelimuti
Jakarta hari ini. Ya, bukan Jakarta namanya kalau ngak panas. Dan kebanyakan
orang juga tau Jakarta itu ngak hanya panas tapi juga kumuh, padat; sampai
setiap hari macet, dan Jakarta itu Polusi.
Dan bukan manusia normal
kalau ngak ngamuk diminta menunggu jemputan di cuaca yang sepanas ini. Dua jam
lebih Acha menunggu jemputan yang tak kunjung datang. Kesal, sudah pasti!.
“ Lho, Acha...??” Seseorang
menyerukan namanya, Acha lantas menoleh. Titan memberhentikan motornya, melepas
helm, kemudian menatap Acha yang penampilannya hampir mendekati gaya fashion pemulung. Muka lepek, kunciran
rambut yang sudah aut-autan, dan lengan baju yang tergulung. Benar-benar berbeda dengan
saat jam Istirahat ke-dua tadi, terakhir mereka bertemu.
Wajah lecek Acha berubah
sumringah, senyumnya mengembang berbinar, seakan baru saja menemukan oase
ditengah padang pasir. “Titaaannn..”
“Ngapain masih disini?” Tanya Titan dengan
ekspresi iba.
“ Nungguin jemputan, Tan. Tapi
ngak dateng-dateng...”
“ Ya udalah, bareng ajah...”
“ Tapi kan rumah kita beda
arah.”
“ Ah, ngak apa-apa, dari pada
kamu nunggu disini”
Acha tersenyum lagi “ iya deh..”
Titan mengambil helm cadangan
yang ada di dalam jok motornya dan memberikannya pada Acha, ketika Acha
menerimanya ia teringat sesuatu. Teringat, seakan-akan kejadian ini pernah
terjadi di waktu yang lain.
Raut wajah Acha berubah, ia
menunduk, dan terdiam sepanjang perjalanan pulang, walau Titan tak
henti-hentinya mengajaknya berbicara Acha hanya menjawabnya dengan gumaman atau
pura-pura tidak mendengar.
“ Nyampeee...” pekik Titan
seraya memberhentikan motornya didepan rumah Acha.
“ Thanks ya, Tan..” Ujar Acha
sekilas, tanpa menengok lagi melengos begitu saja ke dalam rumah.
“ Eii.. Cha!” Titan menarik
selempang tas Acha, membuat Acha menghentikan langkahnya.
“ Helm!..” Tunjuk Titan ke
atas kepala Acha. Acha meraba pucak kepalanya, kemudian tertawa garing di
hadapan Titan. “ Oh iya.. hahaa”
“ Mikirin apa sih?...” tanya
Titan.
Acha tertohok “ Hoh?!.. Titan tau darimana gue lagi
mikirin sesuatu?, jangan-jangan dia punya ilmu yang bisa baca pikiran orang..
mentalist, gitu. !”
“ Eng.. ENGGAK KOK!!, NGAK
MIKIR APA-APA!!” Jawab Acha dengan nada suara yang amat tinggi, boleh dikatakan
berteriak. Titan serta merta terdiam.
“ Iya, iya... ya udah, aku
pulang ya...”
“ Daahhh...” Acha
melambai-lambai kegirangan –seperti biasa–, Titan tersenyum lebar melihat tingkah
Acha.
“ Daahh.. sayang-
Acha terdiam membatu, kalimat
terakhir yang Titan rapalkan tadi seolah-olah membuat dunianya berhenti
sejenak. Sayang!, Titan bilang gitu?..
...................
“ Cha, gue pinjem handuk
kecil yaa..?” teriak Zeva
“ Iyaa..”
“ Lemes banget. Kenapa lu,
neng?” ujar Vella seraya berbaring tepat disamping Acha
“ Enggak apa-apa..”
“ Enggak apa-apa kok lemes
banget, sakit yaa..” Tanya Zeva yang juga ikut berbaring disamping Acha
“ Tadi sore.. Titan manggil
gue sayang”
Zeva dan Vella berpandangan “
Terus?..” ujar keduanya bersamaan.
“ Bukannya wajar-wajar ajaya
kalau pacar manggil pacarnya pake sayang-sayang..” imbuh Vella.
“ Gue.. ngak tau kenapa, gue
ngerasa aneh kalo Titan bilang gitu.”
“ Aneh apa?” potong Zeva
“ Ngak tau!, semuanya kedengeran
aneh untuk Titan ..”
“ Kalo Ray?” Intuisi Zeva
serta merta membuat Acha menatapnya. Kaget. Sekaligus tidak percaya Zeva akan
menanyakan itu.
Zeva menggeleng. “ No, Cha!. Jangan
mengejar seseorang yang jelas-jelas ngak akan pernah membuka dirinya buat lo. Cuma
nyakitin diri sendiri aja, Cha!”
Acha menunduk sambil
memelitir ujung bajunya. Kebiasaannya ketika resah.
“ Juga, kalo sampai sekarang
lo ngak bisa buka hati buat Titan, kenapa dulu lo terima dia?. Jangan bilang
karena lo ngak tega!”
Acha kebas. Perkataan Zeva
selalu mengenai sasaran, mutlak, menancap tepat ke ulu hati, dan kali ini Zeva
bukan hanya mengenai sasaran, bahkan ia sudah berperan sebagai sutradara dalam
lingkup ini. Mengatur dan mengetahui segalanya.
“ Pikirin baik-baik. Apa yang
memang terbaik!, gue sayang, Cha, sama lu” Wajah Zeva menyendu perlahan. Senyum
kecil lantas tergambar diwajah Acha.
“ Iya.. ciee Acha di panggil
sayang sama Titan” Imbuh Vella, baru bersuara.
Acha masih terdiam. Jujur,
sebenarnya ia senang Titan seperti itu.. semenjak resmi jadian delapan bulan lalu, baru sekarang Titan manggil Acha sayang.
Titan itu baik, sopan, cakep, pokoknya idaman banget deh, ngak ada
jelek-jeleknya barang secuil aja. Perfect jasmani rohani. Mungkin kalau yang
jasmani gara-gara Titan punya turunan Irlandia dari Ibunya. Jadi, Bukan cewek
normal kalau ngak naksir Titan.
Dan Acha adalah salah seorang
dari cewek normal itu. Dia naksir Titan, naksir banget!!. Apalagi pas tau
cintanya itu ngak bertepuk sebelah tangan. Titan juga naksir Acha, dia nembak
Acha waktu pementasan drama tahun kemaren, dengan cara yang maniiss banget.
Hanya cewek sinting yang bakal nolak.
Tapi saat itu juga ada
bayang-bayang seseorang yang lain. Seseorang yang juga meramaikan kehidupan
Acha. Perasaan itu selalu datang setiap bayang itu terlintas dipikiran Acha,
perasaan yang mengasumsikan bahwa tidak di ruang ini seharusnya Acha berada.
Kenyataan itu luka dan
perasaan adalah pisau yang siap mengoyak luka itu kapan saja. Acha naksir Titan,
tapi jauh didalam hatinya ada nama seseorang yang lain. selain Titan.
......................
Genjrengan gitar mengalun,
membunuh sepi malam. Nada instrument yang berasal dari film August Rush. August’s Rhapsody. Nada-nada yang menceritakan
bagaimana cara seseorang menemukan, hanya dengan mengikuti
sesuatu yang ia yakini.
“ Ray, Woi gue masuk ya?”
Alunan gitar itu terhenti.
“ Ya elah, ngereem aja lu di kamar... jalan yuk?,
satnite nih!”
Ray meletakkan gitarnya “ Males,
lu ajalah! Ajak Dafa kek”
“ Lu kaya ngak tau Dafa aja...
malu-maluin tauk ngajak dia jalan, ngak ada jaim-jaimnya didepan cewek...
gimana gue mau dapet pacar kalau ngajak orang autis mulu!.. ayok deh Ray!
temenin gue”
“ Gue lagi ngak enak badan...
“
“ Ahh, kapan sih lu sehat
kalau mau gue ajak jalan.. udah ayok!”
Walau dengan sedikit memaksa,
Reno berhasil membawa Ray keluar. Dan sekarang, gerimis tiba-tiba datang saat
mereka baru saja keluar dari sebuah restoran kecil pinggir jalan. Jalan ini
termasuk kawasan yang ramai jika malam hari banyak dari mereka yang
menghabiskan malam disini. Tempat ini cukup lengkap selain ada banyak restoran,
beberapa distro, butik, toko souvenir, dan tempat perbelanjaan juga melengkapi tempat ini.
Ray mengancing jaketnya,
merapatkan topi Woll kupluknya. Hawa dingin akibat gerimis membuat bulu
kuduknya berdiri.. Sialnya lagi, Reno membawa mobil jib yang atapnya terbuka.
Ahh, terpaksa berhenti disini menunggu hujan reda. Ray bukan tipikal orang yang
cerewet, tetapi ia memiliki alergi berat pada air hujan, sekali kehujanan bisa
langsung opname di rumah sakit.
“ Tukan!. Apa gue bilang,
malam ini bakal ujan.. itu makanya gue males keluar” Ray menggosok-gosokkan
kedua tangannya mencari udara hangat.
“ Sorry Ray.. nunggu bentar
ya.”
“ Ck!”
“ Bentaran aja...”
..............
“ Cha... kesini bentar deh”
Acha melenggang masuk
mengikuti Zeva ke dalam sebuah toko yang menjual Souvenir dan Handycraft.
“ Kita nunggu ujannya disini
aja ya... sambil liat-liat” Ujar Zeva, Acha mengangguk.
“ Wuah Cha!. Liat!, ada Dream Catcher!!”
Acha menatap arah yang Zeva
tunjuk. Ada beberapa Dream Catcher
yang tergantung di etalase toko
“ Apaan, Ze? Dream Catcher?? Penangkap mimpi..”
“ Iyaa. Lo ngak tau?.. ckck,
lo hidup diplanet mana sih sampai ngak tau itu!”
“ Buat apaan, sih?”
“ Kalo mitosnya sih katanya
bisa menangkap mimpi-mimpi buruk sewaktu kita tidur, jadi kita cuman bisa
mimpi-mimpi indah aja...”
“ Oow..”
“ Cantikkan, kita beli yuk!”
“ Oke..”
Zeva memanggil sang pemilik
toko dan memintanya untuk mengambilkan Dream Catcher itu.
“ Cha lo mau yang mana?..”
“ Gue yang itu deh, yang
warna coklat...”
“ Pak yang coklat sama yang
putih itu ya...”
Dream
Catcher Zeva
sudah berhasil diambil, tetapi entah mengapa milik Acha agak sulit, sang
pemilik toko menyangkutkannya cukup erat.
“ Waah, maaf nak yang ini
agak susah nih.. bentar yaa”
“ Digoyangin pak” perintah
Zeva memberi petunjuk pada sang pemilik toko. Acha menggaruk kepalanya,
sepertinya agak sulit untuk mengambil pilihannya itu, terlebih pemilik toko ini
sudah tua, mungkin ia tak akan bisa bertahan berdiri lebih lama lagi.
“ Biar saya deh pak...” ujar
Acha, sang pemilik toko menatapnya ragu, Acha mengangguk sanggup, pemilik toko
itu lantas turun dari kursi pendek itu, Acha pun segera menaikinya. Sesulit
itukah untuk sesuatu yang ia pilih?... Tidak!.
“ Cha, ati-ati!.”
Acha berhasil menggapainya,
kemudian mengambilnya. Ia tersenyum penuh lebar, seakan-akan baru saja
memenangkan hadiah. Ia tatap Dream Catchernya dengan gembira, kemudian beranjak
turun, ketika ia hendak turun ia berpegangan pada kaca etalase dan tanpa
sengaja menatap ke arah luar. Tercengang untuk sejenak, ketika bola matanya
berpandangan dengan sepasang mata yang juga sedang memandangnya.
Dan seakan tak ingin
memandang Acha lagi, sepasang mata itu berpaling, meninggalkan Acha yang masih
menatapnya.
“ Oh.. Acha sama Zeva tuh!
Samperin yuk” Reno cepat menarik tangan Ray memasuki toko.
“ Zevaaa..”
“ Lho, Reno? Ray?. kalian
disini?”
“ Iya tadi abis makan terus
nunggu ujan, kalian ngapain disini?”
“ Sama kita juga nunggu
ujan..”
“ Ya udah nunggu bareng aja”
Tanpa ada suara, keduanya
sama. Namun berbeda dengan Ray yang terlihat tidak acuh tak acuh dengan
mengalihkan pandanganya pada barang-barang yang ada di toko. Acha justru sering
memandang ke arahnya.
Entah mengapa, semenjak Reno
memproklamirkan untuk menunggu hujan bersama tadi, Zeva dan Reno mendadak
lengket, mereka berjalan beriringan meninggalkan Acha dan Ray yang setia
mengikuti langkah kaki mereka, situasi seperti ini memang tidak pernah
menguntungkan. Ironis.
“ Ze.. Zeva, tungguin gue!!”
pekik Acha memanggil Zeva, namun terkalahkan oleh suara hujan.
“ Mereka lagi ngedate, mana
mungkin denger suara cempreng lo itu” Guman Ray
. Acha menoleh ke arahnya.
“ Biarin aja mereka, lo kan
ngak jalan sendiri juga. Ada gue..” Ray menatap Acha,
Untuk pertama kalinya sejak
delapan bulan yang lalu, sejak Titan menyatakan bahwa ia menyukai Acha dan Acha
menerimanya. Ray mau menatapnya lagi. Melihat tatapan itu seolah-olah oksigen
yang paling murni mengisi rongga dadanya, membawa pergi beban yang akhir-akhir
ini – untuk beberapa bulan ini – menghimpitnya. Ya, melihat kelakuan Ray yang
seakan menginginkannya enyah sejauh-jauhnya itu membuatnya tak nyaman!.
Benar-benar tidak nyaman dengan itu semua. Namun saat ini Ray menatapnya dan
Acha tidak tau harus memperlakukan tatapan itu seperti apa.
Semakin tak tau harus
bagaimana, Acha bingung. Alih-alih membalas, ia justru mengalihkan wajahnya
dengan pikiran yang sudah berkecamuk. Ray menangkap gelagat Acha dengan salah,
keberaniannya tadi. Sesuatu yang ia pertahankan selama ini. Ternyata kenyataan
berada jauh dari apa yang ia inginkan. Perlahan Ray menundukkan wajah dan
beralih menatap arah lain.
“ Jadi... Lo tadi abis
darimana?” Tanya Acha memulai, tak menginginkan suasana canggung lagi.
“ Makan..”
“ Oow...”
“ Lo?”
“ Jalan-jalan aja..terus ujan
jadi mampir dulu ke toko tadi”
“ Oow... beli apa?”
“ Oh iya..” Acha merogoh tas
belanjanya. “ Dream Catcher”
“ Kenapa? Lo mimpi buruk mulu
ya?” Ray tersenyum
“ Kayanya gitu.. bahkan mimpi
itu udah nyampur sama dunia nyata!”
Ray terkekeh geli “
Hahahaa... serem banget. Mimpi apa yang udah nyampur sama dunia nyata?”
Acha terdiam, ia melirik Ray
“ Mimpi-...
Dalam satu tarikan, Acha
menghentikan kalimat yang baru saja akan meluncur. Jelas semua itu berhubungan
dengan Ray. Terorganisir dan penuh kesadaran, hanya pikirannya yang terus
mengucap. Tanpa suara.
“ Mimpi setan? Tanya Ray
melihat kebungkaman tiba-tiba dari Acha.
“ Enggalah!,.. Mimpi gue
lebih nyeremin dari itu!”
“ Oh ya.. hmm!” Ray
mengangguk mengerti
“ Ray.. “ panggil Acha ragu.
“ Hmm?”
Ray tersenyum sambil menatap
Acha lagi. Sulit diungkapkan bagaimana tepatnya perasaan Acha saat ini, paras
yang dulu pernah membuat wajahnya memanas, jantungnya yang berdetak cepat, dan
perasaan menggelitik lainnya.
“ Emm, dingin ya...” Jawab
Acha kikuk. Tiba-tiba tak tau harus berkata apa. Ingin sekali ia bertanya
mengapa Ray tiba-tiba diam?, mengapa Ray tak mau menatapnya?, dan mengapa Ray
seakan menjauhinya?. Tapi yang keluar justru kata-kata aneh. Ray memicing, lalu
menengadah menatap langit yang masih hujan “ Kan ujan...”
“ Iyasih... hahaa” Acha
semakin kikuk
“ Aneh lo itu ngak
ilang-ilang ya” Ujar Ray, setelah itu ia lepaskan woll kupluknya dan
memakaikannya pada Acha “ Dont let cold
bite you..”
“ Thanks,... Galak lo juga!”
balas Acha.
Ray menoleh ke arah Acha,
lalu terkekeh lagi. Entah kenapa malam ini Ray benar-benar berbeda dari
biasanya, ya.. semenjak delapan bulan terakhir. Lebih banyak tertawa, Acha
pikir. Tanpa tau mengapa, tiba-tiba Acha merasa senang, ia tersenyum.
“ Ray...” panggil Acha pelan,
hampir terkalahkan oleh bunyi hujan.
“ Ya?” Ray menghentikan
langkahnya lalu menghadap.
“ Lo tau ngak?, tiba-tiba aja
gue ngerasa seneng.. aneh ngak sih?”
“ Senengnya kenapa dulu?!”
Acha berhenti, ia biarkan Ray
berjalan mendahuluinya, ia tatap punggu Ray yang berjalan menjauh “ Karena lo ada di sini, seolah ngak pernah
terjadi apapun, seakan-akan waktu itu ngak pernah ada, seperti nyata yang
sekarang gue lihat. Di samping gue, ...”.
Ray berbalik ketika ia sadar
Acha tak berjalan disampingnya lagi “ Ngapain lo?, buruan! “
Acha tersadar, ia cepat
menggeleng lalu mengikuti langkah Ray lagi.
“
Ray, apa gue jatuh cinta sama lo?.... dan apa boleh?.. lagi?”
......................
“ Kamu inget tempat ini, kan?”
Aruna mengangguk, ia tersenyum.
Bagaimana mana mungkin ia melupakan tempat ini, tempat yang pada satu waktu,
hampir setiap detiknya tak pernah hilang dari pikirannya.
“ Dulu saya ngelamar kamu
disini..”
“ Ngelamar? don't be kidding!. Kamu cuman bilang
“kita nikah yuk?” cuman gitu aja”
“ Lho, kan sama?! ngelamar
itukan ngajak nikah dan waktu itu saya ngajak kamu nikah”
“ Hmm... tapi anda lupa satu
hal yang wajib dibawa pas mau ngelamar, Tuan Aresstyo Narada”
“ Apa?”
“ Cincin...”
“ saya bawa kok, tapi kamu
keburu pergi sebelum saya kasih...”
Aruna terdiam, memorinya
memutar ulang kejadian pada hari itu, dimana Aress melamarnya.
“
Lo ngapain sih ngajak gue kesini?!”
“
Gue... gue mau ngomong sesuatu?”
“
Apa lagi sih? Belum cukup ya semua ini?”
“
Makanya lo harus dengerin gue!...” Nada suara Aress meninggi satu tingkat.
Aruna menatapnya geram, bibirnya bergetar kuat, ia tak tahan lama-lama berada
didekat Aress, karena hanya akan membuatnya membangkitkan kesalahan itu lagi.
Dengan
cepat Aruna berdiri, hampir saja pergi jika Aress tidak segera menarik
tangannya.“ Run! Dengerin gue!!”. Aress cepat merengkuh Aruna, membawa gadis
itu dalam penjagaannya, tidak boleh lepas, tak perduli dengan orang-orang
disekitar mereka. Yang Aress tahu ia butuh wanita ini, dan jika tidak sekarang
mungkin tidak akan selamanya.
“
Jangan pergi dulu...”.
Aruna
tidak bergerak, ia diam. Aress merasakan
sesuatu menetes di kemejanya.
“kita...
kita nikah yuk?” tukas Aress.
Aruna
mengangkat wajahnya, ia tatap lekat-lekat wajah Aress. Menatap luruh, mata
coklat bening yang didalamnya tercermin bayangannya
Inikah dia? Inikah yang ingin aku temukan dari banyak hal yang aku cari?. Setiap malam tiba, tak henti-hentinya napas berbisik pada
angin, ingin didengar. Diakah akhirnya yang mendengar?, diakah yang menyambut
setiap pesan-pesan malam?. Mengapa dirinya?. Persimpangan yang selalu sulit dipilih.
Aruna tak bisa memungkiri bahwa ia juga
membutuhkan sosok dihadapannya ini, tapi semuanya seakan sudah menguap kalah
dengan sakit yang tercipta dan kini sedang ia rasakan.
“
Aruna, aku butuh kamu...”
“
Aku ngak bisa...”
Dan
jika setiap wanita yang berada pada posisi yang sama dengan dirinya akan merasa
bahagia, karena tak perlu takut sendiri, tak perlu mengkhawatirkan apapun, dan
mungkin itu jalan yang paling terbaik. Tidak begitu dengannya. Ia memilih
jalannya sendiri. Jalan yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah jalan yang
lebih menyakitkan.
.....................
“ Saya boleh tau ngak?”
Ucapan Aress mengaburkan
semua kabut-kabut memorinya, Aruna menoleh cepat “ Hmm?”.
“ Karena sekarang semua udah
berubah. Apa boleh saya tahu, waktu itu.. apa sebenernya perasaan kamu?”
“ Apa kamu mau tahu juga.
Hari itu, ngak pernah satu detiknya pun pergi dari ingatan saya. Tak satu pun
yang hilang apalagi berubah. Mungkin, saya yang selalu teringat”
“ Begitu juga dengan saya”
“ Terkadang saya ingin sekali
mempercayai setiap kata”
“ Kamu bisa percaya saya
kalau kamu mau”
Tujuh belas tahun. Tujuh
belas tahun apa belum bisa menghapus luka itu? apa luka itu begitu dalam?.
Seberapa sakit luka itu?... .
......................
“
Kita gugurin aja!”
“
Lo gila! Itu bahaya!!”
“
Lebih bahaya lagi kalau dipertahanin!!”
“
Ngak! Pokoknya gue ngak setuju!”
“
You’re so mean!! Gue ngomongin ini sama lo supaya dapet jalan keluar dan gue
menghargai lo sebagai ayah bayi ini”
“
Ya ayah dari bayi yang mau lo gugurin, terus apa? Ngapain lo omongin, ngapain
lo minta jalan keluar!”
“
Aress!!...”
“
I dont care! Pokoknya gue ngak setuju!”
“
Gue yang mengandung! Ini rahim gue! Terserah mau gue apain!”
“
Ya, but dont do something to my baby!!”
“
Ini bukan cuman bayi lo!”
“
Run!!...”
“
Please!... “
.........................
Semakin diingat, semakin
menyakitkan. Semakin dalam rasa sakitnya. Semakin bertambah penyesalannya.
“ Pada dasarnya kalian aja
yang sulit mengakui, kalo kalian berdua itu masih ada rasa..”
Aruna menghirup udara-udara
disekitarnya, menikmati setiap hawa yang merasuki rongga dadanya. Ia butuh ini
– sesering mungkin – , pikirannya sedang kacau , semua hal yang ia pikiran
terasa kurang tepat, salah, dan parahnya terkadang ia tidak mengerti.
“ you should let it out,
confess that feeling!”
“ feeling what?. There is no
any feeling from the beginning.”
“ Of course, there is. You
just rejected all.”
“ Katanya aku bisa percaya
kata-katanya. Tapi bahkan hal apa yang membuatku takut berawal dari dia.”
“ C’mon!, it just past so let
it stay in the past”
“ Past embrace the future”
“ Ngak ada gunanya lo mikirin
semua yang sudah terjadi, toh itu udah terjadi lo ngak bisa apa-apa lagi, Run!.
Jangan sampai lo lupa, what happened in the past is because you’re never be
brave for yourself. Now, you may have it, you have a chance... “.
Sepi itu pasti, tapi tak
terpikir. Sama seperti angin, hembusannya terasa tapi kehadirannya tak pernah
berkesan. Berlalu, dan hanya sedikit yang merindukan. Segelintir orang yang
bersamanya mencari-cari entah apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar